Sunday, December 6, 2009

P3B antara Indonesia dengan Tunisia

PERSETUJUAN ANTARA
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
DAN
PEMERINTAH REPUBLIK TUNISIA

TENTANG
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA DAN PENCEGAHAN PENGELAKAN PAJAK ATAS PENGHASILAN

Pasal 1
ORANG ATAU BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN INI

Persetujuan ini berlaku terhadap orang atau badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan.

Pasal 2
PAJAK PAJAK YANG DICAKUP DALAM PERSETUJUAN INI

  1. Persetujuan ini berlaku terhadap pajak-pajak atas penghasilan yang dikenakan oleh masing-masing Negara pihak pada Persetujuan, tanpa memperhatikan cara pemungutan pajak-pajak tersebut.

  2. Dianggap sebagai pajak-pajak atas penghasilan adalah semua pajak yang dikenakan atas seluruh penghasilan dan atas unsur-unsur penghasilan, termasuk pajak-pajak atas keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan harta gerak atau harta tak gerak.

  3. Persetujuan ini akan diterapkan terhadap pajak-pajak yang berlaku sekarang ini, adalah :

    (a) sepanjang mengenai Indonesia :
    Pajak penghasilan yang dikenakan berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 (Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983);
    (selanjutnya disebut sebagai "pajak Indonesia").
    (b) sepanjang mengenai Tunisia :
    (i) pajak penghasilan usaha (l 'impot sur les benefices industriels et commerciaux);
    (ii) pajak perseroan (l 'impot sur les benefices des societes);
    (iii) pajak atas penghasilan dari pekerjaan non-komersil (l 'impot sur les benefices des professions non-commerciales);
    (iv) pajak atas upah dan gaji (l 'impot sur les traitements et salaries);
    (v) pajak hasil bumi (l 'impot agricole);
    (vi) pajak atas penilaian barang modal berupa barang tak gerak (l impt sur les plus-values immobilieres)
    (vii) pajak penghasilan atas hutang, deposito, uang jaminan dan aktiva lancar (l 'impot sur le revenu des creances, depots, cautionnements et comptes courants) (IRC);
    (viii) pajak khusus solidaritas (la contribution exceptionnelle de solidarite);
    (ix) pajak penghasilan atas pengalihan sekuritas (l 'impot sur le revenu des valeurs mobilieres);
    (x) pungutan atas pegawai pemerintah (la contribution personelle d 'Etat);
    (selanjutnya disebut sebagai "pajak Tunisia").
  4. Persetujuan ini akan berlaku pula terhadap setiap pajak yang serupa atau pada hakekatnya sama yang dikenakan setelah tanggal penandatanganan Persetujuan ini sebagai tambahan terhadap, atau sebagai pengganti dari, pajak-pajak yang sekarang berlaku. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan saling memberitahukan satu sama lain mengenai setiap perubahan penting yang terjadi dalam perundang-undangan perpajakan mereka yang berkenaan.

Pasal 3
PENGERTIAN-PENGERTIAN UMUM

  1. Kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, yang dimaksud dalam Persetujuan ini dengan :

    (a) (i)

    istilah "Indonesia" meliputi wilayah Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangannya dan daerah yang berbatasan dimana Republik Indonesia mempunyai hak-hak kedaulatan atau yurisdiksi menurut hukum internasional;

    (ii)

    istilah "Tunisia" dalam pengertian geografis berarti wilayah dari Republik Tunisia termasuk setiap daerah yang berada di bawah laut wilayah Republik Tunisia, yang menurut hukum Tunisia dan sesuai dengan hukum Internasional, adalah daerah dimana Tunisia dapat melaksanakan haknya berkenaan dengan dasar laut beserta lapisan tanah dibawahnya dan semua sumber alamnya;

    (b)

    istilah "Negara pihak pada Persetujuan" dan "Negara pihak lainnya pada persetujuan" berarti Republik Indonesia atau Republik Tunisia tergantung pada hubungan kalimatnya;

    (c)

    istilah "pajak" berarti pajak Indonesia atau Pajak Tunisia tergantung pada hubungan kalimatnya;

    (d)

    istilah "orang atau badan" meliputi orang pribadi, perseroan dan setiap badan;

    (e)

    istilah "perseroan" berarti setiap badan hukum atau setiap entitas yang untuk tujuan pemungutan pajak diperlakukan sebagai suatu badan hukum;

    (f)

    istilah "perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan" dan "perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan" berarti berturut-turut suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan;

    (g)

    istilah "warga negara" berarti :

    (i)

    setiap orang pribadi yang memiliki kewarganegaraan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan;

    (ii)

    setiap badan hukum, persekutuan dan asosiasi yang statusnya mereka peroleh berdasarkan hukum yang berlaku pada salah satu Negara pihak pada Persetujuan;

    (h)

    istilah "lalu lintas internasional" berarti setiap pengangkutan oleh kapal laut atau pesawat udara yang dilakukan oleh perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, kecuali jika kapal atau pesawat udara itu semata-mata dioperasikan antara tempat-tempat yang berada di Negara pihak lainnya pada Persetujuan;

    (i)

    istilah "pejabat yang berwenang" berarti

    (i)

    di Indonesia
    Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah;

    (ii)

    di Tunisia :
    Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah;

  2. Sehubungan dengan penerapan Persetujuan ini oleh salah satu Negara pihak pada Persetujuan, setiap istilah yang tidak dirumuskan mempunyai arti menurut perundang-undangan Negara itu sepanjang mengenai pajak-pajak yang diatur dalam Persetujuan ini, kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain.

Pasal 4
P E N D U D U K

  1. Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah "penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan" berarti setiap orang atau badan, yang menurut perundang-undangan Negara tersebut dapat dikenakan pajak di Negara itu berdasarkan domisilinya, tempat kediamannya, tempat kedudukan kantor pusatnya, tempat kedudukan manajemennya ataupun kriteria lainnya yang sifatnya serupa. Tetapi istilah ini tidak mencakup orang atau badan yang dapat dikenakan pajak di Negara itu hanya berdasarkan alasan bahwa penghasilan bersumber di Negara tersebut.

  2. Jika seseorang menurut ketentuan-ketentuan pada ayat 1 menjadi penduduk di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka statusnya akan ditentukan sebagai berikut :

    (a)

    ia akan dianggap sebagai penduduk Negara dimana ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya; apabila ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia di kedua Negara, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara dimana terdapat hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan pokok);

    (b)

    jika Negara dimana pusat kepentingan-kepentingan pokoknya tidak dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya di salah satu Negara, maka ia akan dianggap sebagai penduduk Negara dimana ia biasanya berdiam;

    (c)

    jika ia mempunyai tempat yang biasa ditinggali di kedua Negara atau sama sekali tidak mempunyainya di kedua Negara tersebut maka ia akan dianggap sebagai penduduk Negara dimana ia menjadi warganegaranya;

    (d)

    jika ia menjadi warganegara di kedua Negara, ataupun tidak di kedua Negara tersebut, maka pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan masalah tersebut berdasarkan persetujuan bersama.

  3. Apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1, suatu badan mempunyai tempat kedudukan di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka ia akan dianggap sebagai penduduk Negara dimana tempat manajemen efektif berada. Namun apabila ada keraguan-raguan, maka pejabat berwenang dari Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan masalahnya berdasarkan persetujuan bersama.

Pasal 5
BENTUK USAHA TETAP

  1. Untuk kepentingan Persetujuan ini istilah "bentuk usaha tetap" berarti suatu tempat usaha tetap dimana seluruh atau sebagian usaha dari suatu perusahaan dijalankan.

  2. Istilah "bentuk usaha tetap" juga meliputi :

    (a) suatu tempat kedudukan manajemen;
    (b) suatu cabang;
    (c) suatu kantor;
    (d) suatu pabrik;
    (e) suatu bengkel; dan
    (f)

    suatu tambang, suatu penggalian atau tempat pengambilan sumber daya alam lainnya.

  3. Istilah "bentuk usaha tetap" juga meliputi :

    (a)

    Suatu bangunan, suatu projek konstruksi, suatu perakitan atau proyek instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungan dengan projek tersebut, tetapi hanya apabila bangunan, proyek atau kegiatan tersebut berjalan untuk masa lebih dari tiga bulan.

    (b)

    Pemberian jasa-jasa termasuk jasa-jasa konsultan oleh suatu perusahaan, sepanjang kegiatan-kegiatan seperti itu berlangsung (untuk proyek yang sama atau yang berhubungan) di suatu Negara selama suatu masa atau masa-masa yang melebihi jumlah tiga bulan dalam waktu dua belas bulan.

  4. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, istilah "bentuk usaha tetap" dianggap tidak meliputi :

    (a)

    penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan atau memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

    (b)

    pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan atau dipamerkan;

    (c)

    pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

    (d)

    pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan keterangan bagi keperluan perusahaan;

    (e)

    pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata dengan maksud untuk tujuan menjalankan kegiatan-kegiatan yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan;

    (f)

    pengurusan suatu tempat tertentu semata-mata ditujukan untuk melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan pada sub-ayat (a) sampai dengan sub ayat (e), asalkan hasil penggabungan seluruh kegiatan-kegiatan tersebut bersifat persiapan atau penunjang

  5. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2, apabila orang atau badan, kecuali agen yang bertindak bebas sebagaimana berlaku ayat 6, bertindak di suatu Negara pihak pada Persetujuan atas nama perusahaan yang berkedudukan di Negara lainnya pada Persetujuan, maka perusahaan tersebut dianggap memiliki bentuk usaha tetap di Negara pihak pada Persetujuan yang disebutkan pertama atas kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang atau badan tersebut, jika ia :

    (a)

    mempunyai dan biasa melakukan wewenang untuk menutup kontrak-kontrak atas nama perusahaan tersebut, kecuali kegiatan itu hanya terbatas pada apa yang diatur dalam ayat 4 yang meskipun dilakukan melalui suatu tempat usaha tetap, tempat tersebut bukan merupakan bentuk usaha tetap sesuai dengan ketentuan ayat tersebut; atau

    (b)

    tidak mempunyai wewenang seperti itu, tetapi biasa melakukan pengurusan persediaan barang-barang atau barang dagangan di Negara yang disebut pertama dimana secara teratur ia menyerahkan barang-barang atau barang dagangan atas nama perusahaan tersebut.

  6. Suatu perusahaan dari salah satu Negara pihak pada Persetujuan, tidak akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak lainnya pada Persetujuan hanya semata-mata karena perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak lainnya melalui makelar, komisioner umum, atau agen lainnya yang bertindak bebas, sepanjang orang atau badan tersebut bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim.

  7. Jika suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan menguasai atau dikuasai oleh perseroan yang berkedudukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan ataupun menjalankan usaha di Negara pihak lainnya itu (baik melalui suatu bentuk usaha tetap ataupun dengan suatu cara lain), maka hal itu tidak dengan sendirinya akan berakibat bahwa salah satu dari perseroan itu merupakan bentuk usaha tetap dari yang lainnya.

  8. Suatu perusahaan asuransi dari salah satu Negara pihak pada Persetujuan, kecuali yang berkenaan dengan reasuransi, akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak lainnya, jika perusahaan tersebut memungut premi di wilayah Negara lainnya itu atau menanggung resiko yang terjadi disana melalui seorang pegawai atau melalui suatu perwakilan yang bukan merupakan agen yang bertindak bebas seperti dimaksud pada ayat 6.

Pasal 6
PENGHASILAN DARI HARTA TAK GERAK

  1. Penghasilan yang diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari harta tak gerak (termasuk penghasilan yang diperoleh dari pertanian atau perhutanan) yang berada di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

  2. Istilah "harta tak gerak" akan mempunyai arti sesuai dengan perundang-undangan Negara pihak pada Persetujuan dimana harta yang bersangkutan berada. Istilah tersebut meliputi juga benda-benda ikutan dari harta tak gerak, ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam usaha pertanian dan perhutanan, hak-hak terhadap mana berlaku ketentuan-ketentuan dalam hukum perdata mengenai pemilikan atas lahan, hak memungut hasil atas harta tak gerak, serta hak atas pembayaran-pembayaran tetap atau variabel sebagai balas jasa untuk pengerjaan, atau hak untuk mengerjakan deposit bahan galian, sumber-sumber dan sumber-sumber daya alam lainnya; kapal laut, perahu dan pesawat udara tidak dianggap sebagai harta tak gerak.

  3. Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 berlaku juga terhadap penghasilan yang diperoleh dari penggunaan secara langsung, dari penyewaan, atau dari penggunaan dengan cara lain atas harta tak gerak.

  4. Ketentuan-ketentuan dalam ayat-ayat 1 dan 3 berlaku juga terhadap penghasilan dari harta tak gerak suatu perusahaan dan terhadap penghasilan dari harta tak gerak yang digunakan dalam menjalankan pekerjaan bebas.

Pasal 7
LABA USAHA

  1. Laba perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya sebagai dimaksud di atas, maka laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari :

    (a)

    bentuk usaha tetap tersebut;

    (b)

    penjualan atas barang-barang atau barang dagangan yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dijual, atau kegiatan-kegiatan usaha lainnya yang sama atau serupa jenisnya dengan yang dilakukan melalui bentuk usaha tetap itu.

  2. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap itu oleh masing-masing negara ialah laba yang diperolehnya seandainya bentuk usaha tetap tersebut merupakan suatu perusahaan yang terpisah dan bertindak bebas yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau serupa, dalam keadaan yang sama atau serupa, dan mengadakan hubungan yang sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang memiliki bentuk usaha tetap itu.

  3. Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan usaha dari bentuk usaha tetap itu termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum baik yang dikeluarkan di Negara dimana bentuk usaha tetap itu berada ataupun di tempat lain. Namun demikian tidak diperkenankan untuk dikurangkan ialah pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya (selain dari penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan) berupa royalty,biaya atau pembayaran-pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten atau hak-hak lain, atau berupa komisi, untuk jasa-jasa tertentu yang dilakukan atau untuk manajemen, atau, kecuali dalam hal usaha perbankan, berupa bunga atas pinjaman yang diberikan kepada bentuk usaha tetap. Sebaliknya tidak akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap adalah jumlah-jumlah yang dibebankan oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik Kantor Pusatnya (selain penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan) berupa royalty, biaya atau pembayaran-pembayaran serupa lainnya karena penggunaan paten atau hak-hak lain, atau berupa komisi, untuk jasa-jasa tertentu yang dilakukan atau untuk manajemen, atau, kecuali dalam hal usaha perbankan, berupa bunga atas pinjaman yang diberikan kepada kantor pusatnya atau kantor lainnya milik kantor pusatnya.

  4. Sepanjang merupakan kelaziman di salah satu Negara pihak pada Persetujuan untuk menetapkan besarnya laba yang dapat dianggap berasal dari suatu bentuk usaha tetap dengan cara membagi seluruh laba dari berbagai bagian perusahaan tersebut berdasar suatu rumus tertentu, maka ketentuan-ketentuan ayat (2) tidak akan menutup kemungkinan bagi negara pihak pada persetujuan tersebut untuk menentukan besarnya laba yang akan dikenakan pajak berdasarkan rumus pembagian itu yang lazim dipakai; namun cara pembagiannya itu harus sedemikian rupa sehingga hasil akhirnya akan sesuai dengan azas yang terkandung dalam pasal ini.

  5. Demi penerapan ayat-ayat terdahulu, besarnya laba bentuk usaha tetap harus ditentukan dengan cara yang sama dari tahun ke tahun, kecuali jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk melakukan penyimpangan.

  6. Jika dalam jumlah laba termasuk bagian-bagian penghasilan yang diatur secara tersendiri pada pasal-pasal lain dalam Persetujuan ini, maka ketentuan pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan pasal ini.

Pasal 8
PERKAPALAN DAN PENGANGKUTAN UDARA

  1. Laba yang berasal dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara milik perusahaan dari salah satu Negara pihak pada Persetujuan dalam jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.

  2. Laba yang berasal dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara di antara tempat-tempat di salah satu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.

  3. Ketentuan-ketentuan ayat 1 pasal ini akan berlaku pula terhadap laba yang diperoleh dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha bersama, atau dalam suatu perwakilan untuk operasi internasional.

Pasal 9
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

Apabila :

(a)

suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, atau

(b)

orang atau badan yang sama baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari salah satu Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan,

dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan usahanya atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazimnya berlaku antara perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain, maka setiap laba yang seharusnya diterima oleh salah satu perusahaan jika syarat-syarat itu tidak ada, namun tidak diterimanya karena adanya syarat-syarat tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenakan pajak.

Pasal 10
D I V I D E N

  1. Dividen yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

  2. Namun demikian dividen itu dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana perseroan yang membayarkan dividen tersebut berkedudukan dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut, akan tetapi apabila penerima dividen adalah pemilik saham yang menikmati dividen itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 12 persen dari jumlah kotor dividen. Ayat ini tidak akan mempengaruhi pengenaan pajak atas laba perseroan dari mana dividen tersebut dibayarkan.

  3. Istilah "dividen" sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari saham-saham, atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat piutang, yang berhak atas pembagian laba, maupun penghasilan lainnya dari hak-hak perseroan yang oleh undang-undang perpajakan Negara dimana perseroan yang membagikan dividen itu berkedudukan, dalam pengenaan pajaknya diperlakukan sama dengan penghasilan dari saham-saham.

  4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila pemilik saham yang menikmati dividen, yang merupakan penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dimana perseroan yang membayarkan dividen itu berkedudukan, melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, atau menjalankan pekerjaan bebas dengan suatu tempat tertentu yang berada disana dan pemilikan saham-saham yang menghasilkan dividen itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu. Dalam hal demikian berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14, tergantung pada masalahnya.

  5. Apabila suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan memperoleh laba atau penghasilan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, Negara pihak lainnya tersebut tidak boleh mengenakan pajak apapun juga atas dividen yang dibayarkan oleh perseroan itu, kecuali apabila dividen itu dibayarkan kepada penduduk di Negara pihak lainnya itu atau apabila penguasaan saham-saham yang menghasilkan dividen itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap berada di Negara pihak lainnya tersebut, juga tidak boleh mengenakan pajak atas laba yang tidak dibagikan sekalipun dividen-dividen yang dibayarkan atau laba yang tidak dibagikan itu terdiri seluruhnya atau sebagian dari laba atau penghasilan yang berasal dari Negara
    pihak lainnya itu.

  6. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan lain dalam Persetujuan ini, apabila suatu perseroan yang berkedudukan di Negara pihak pada Persetujuan memiliki bentuk usaha tetap di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, keuntungan bentuk usaha tetap tersebut dapat dikenakan pajak tambahan sesuai dengan undang-undang di Negara pihak lainnya, namun pajak tambahan tersebut tidak akan melebihi 12 persen dari jumlah keuntungan setelah dikurangi dengan pajak penghasilan yang dikenakan di Negara pihak lainnya tersebut.

  7. Ketentuan-ketentuan pada ayat 6 Pasal ini tidak mempengaruhi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam setiap kontrak bagi hasil dan kontrak karya (atau kontrak-kontrak lain yang serupa) mengenai sektor minyak dan gas atau sektor pertambangan lainnya yang disetujui oleh masing-masing Negara pihak pada Persetujuan.

Pasal 11
B U N G A

  1. Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

  2. Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan tempat bunga itu berasal, dan sesuai dengan perundang-undangan negara tersebut, akan tetapi apabila penerima bunga adalah pemberi pinjaman yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 12 persen dari jumlah kotor bunga.

  3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2, bunga yang berasal di suatu Negara pihak pada Persetujuan akan dibebaskan pengenaan pajaknya di Negara tersebut apabila bunga tersebut :

    1. diterima dan dinikmati oleh Pemerintah Negara pihak lainnya pada Persetujuan termasuk bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya atau Bank Sentralnya.

    2. dibayar oleh Pemerintah Negara pihak pada Persetujuan atau bagian ketatanegaraan atau pemerintah daerahnya kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan, apabila jangka waktu peminjaman adalah sekurangnya 7 tahun.

  4. Istilah "bunga" yang digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari semua jenis tagihan hutang baik, yang dijamin dengan hipotik maupun tidak, dan baik yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun tidak, dan khususnya penghasilan dari surat-surat perbendaharaan Negara dan surat-surat obligasi atau surat-surat hutang, termasuk premi dan hadiah yang terikat pada surat-surat perbendaharaan, obligasi atau surat-surat hutang tersebut.

  5. Ketentuan-ketentuan ayat 1, dan ayat 2 tidak akan berlaku apabila pemberi pinjaman yang menikmati bunga yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dimana tempat bunga itu berasal melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, atau menjalankan pekerjaan bebas di Negara pihak lainnya melalui suatu tempat tetap yang berada disana, dan tagihan hutang yang menghasilkan bunga itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu. Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.

  6. Bunga dianggap berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan apabila yang membayarkan bunga adalah Negara itu sendiri, suatu bagian ketatanegaraannya, suatu pemerintah daerahnya, atau penduduk Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayar bunga itu, tanpa memandang apakah ia penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan atau tidak, mempunyai bentuk usaha tetap atau tempat tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan dalam hubungan mana piutang yang menjadi pokok pembayaran bunga itu telah dibuat, dan bunga yang dibayarkan menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut, maka bunga itu akan dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan dimana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada.

  7. Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar bunga dengan pemberi pinjaman yang menikmati bunga atau antara keduanya dengan orang atau badan lain dengan memperhatikan besarnya tagihan hutang yang menghasilkan bunga itu, jumlah bunga yang dibayarkan yang melebihi jumlah yang seharusnya disetujui antara pembayar dan pemberi pinjaman yang menikmati bunga seandainya hubungan istimewa itu tidak ada, maka ketentuan-ketentuan Pasal ini akan berlaku hanya atas jumlah yang disebut terakhir. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini.

Pasal 12
ROYALTI

  1. Royalti yang berasal dari Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk dari suatu Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

  2. Namun demikian royalti tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana royalti itu berasal dan sesuai dengan perundang-undangan Negara itu, tetapi apabila penerima royalti adalah pemilik hak yang menikmati royalti, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 15 persen dari jumlah kotor dari royalti tersebut.

  3. Istilah "royalti" sebagaimana digunakan dalam pasal ini berarti segala jenis pembayaran-pembayaran dengan bentuk apapun yang merupakan imbalan untuk penggunaan, atau hak untuk menggunakan, setiap hak cipta atas karya tulis, karya seni atau karya di bidang ilmu (termasuk film bioskop, film atau tape untuk siaran radio atau televisi), paten, merek dagang, pola atau model, rancangan, rumus atau cara pengolahan yang dirahasiakan, penggunaan atau hak untuk menggunakan alat-alat perlengkapan pertanian, industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan, atau informasi di bidang industri, perdagangan atau pengalaman, atau penelitian di bidang tehnik atau ekonomi, atau bantuan tehnik.

  4. Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku, apabila pihak yang memiliki hak menikmati royalti, yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan, menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dimana royalti berasal, melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, atau melakukan suatu pekerjaan bebas di Negara pihak lainnya itu melalui suatu tempat tetap yang berada disana, dan hak atau milik atau kontrak yang menghasilkan royalti itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu. Dalam hal demikian ketentuan pasal 7 atau pasal 14, tergantung dari masalahnya, akan berlaku.

  5. Royalti dapat dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan apabila pembayarnya adalah Negara itu sendiri, suatu bagian ketatanegaraan, pemerintah daerah, atau penduduk dari Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayarkan royalti itu, tanpa memandang apakah ia penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan atau bukan, memiliki bentuk usaha tetap atau tempat tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan dimana kewajiban membayar itu timbul, dan pembayaran tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap tersebut, maka royalti itu dianggap berasal dari Negara dimana bentuk usaha tetap atau tempat tetap itu berada.

  6. Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar dengan pemilik hak yang menikmati atau antara kedua-duanya dengan orang atau badan lain, dengan memperhatikan penggunaan hak, atau informasi yang menimbulkan pembayar royalti itu, jumlah royalti yang dibayar melebihi dari jumlah yang seharusnya disepakati oleh pembayar dan pemilik hak seandainya tidak ada hubungan istimewa semacam itu, maka ketentuan-ketentuan Pasal ini hanya hanya akan berlaku terhadap jumlah yang disebut terakhir. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing Negara pihak pada Persetujuan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini.

Pasal 13
KEUNTUNGAN DARI PEMINDAHTANGANAN HARTA

  1. Keuntungan yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan dari pemindahtanganan harta tak gerak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan terletak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

  2. Keuntungan dari pemindahtanganan harta gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan atau dari harta gerak yang merupakan bagian dari suatu tempat tetap yang tersedia bagi penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan untuk maksud melakukan pekerjaan bebas, termasuk keuntungan dari pemindahtanganan bentuk usaha tetap itu (tersendiri atau beserta keseluruhan perusahaan) atau tempat tetap, dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

  3. Keuntungan yang diperoleh penduduk suatu negara pihak pada Persetujuan dari pemindahtanganan kapal atau pesawat udara yang dioperasikan di jalur lalu lintas internasional, atau harta gerak yang berkaitan dengan operasi kapal atau pesawat udara itu akan dikenakan pajak di Negara tersebut.

  4. Keuntungan dari pemindahtanganan harta lainnya, kecuali yang disebutkan pada ayat-ayat 1, 2 dan 3, hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana orang atau badan yang memindahkan harta itu berkedudukan.

Pasal 14
PEKERJAAN BEBAS

  1. Penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya hanya akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali apabila ia mempunyai suatu tempat tetap yang tersedia secara teratur baginya untuk menjalankan kegiatan-kegiatan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan itu atau ia berada di Negara pihak lainnya itu selama suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya melebihi 120 hari dalam suatu tahun pajak. Apabila ia mempunyai tempat tetap tersebut atau berada di Negara pihak lainnya itu selama masa atau masa tersebut di atas, maka penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya itu tetapi hanya sepanjang penghasilan itu dianggap berasal dari tempat tetap tersebut atau diperoleh di Negara pihak lainnya itu selama masa atau masa-masa tersebut di atas.

  2. Istilah "jasa-jasa profesional" terutama meliputi pekerjaan-pekerjaan bebas di bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, pendidikan atau pengajaran, demikian juga pekerjaan-pekerjaan bebas yang dilakukan oleh para dokter, ahli teknik, ahli hukum, arsitek, dokter gigi dan akuntan.

Pasal 15
PEKERJAAN DALAM HUBUNGAN KERJA

  1. Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal 16, 18, 19, 20, gaji, upah dan imbalan lainnya yang serupa yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan karena suatu pekerjaan yang dilakukan dalam hubungan kerja, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu, kecuali pekerjaan tersebut dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan. Dalam hal demikian, maka imbalan yang diterima dari pekerjaan dimaksud dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya itu.

  2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, imbalan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama apabila :

    (a)

    penerima imbalan berada di Negara pihak lainnya itu dalam suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 183 hari dalam tahun kalender; dan

    (b)

    imbalan itu dibayarkan oleh, atau atas nama dari, pemberi kerja yang bukan merupakan penduduk Negara pihak lainnya tersebut; dan

    (c)

    imbalan itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di Negara pihak lain tersebut.

  3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dalam Pasal ini, imbalan diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan di atas kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan dalam jalur lalu-lintas internasional oleh perusahaan dari salah satu Negara pihak pada Persetujuan hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.

Pasal 16
IMBALAN PARA DIREKTUR

Imbalan para direktur dan pembayaran-pembayaran serupa lainnya yang diperoleh penduduk Negara pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direktur suatu perseroan atau setiap badan lain yang serupa dari perusahaan yang berkedudukan di suatu Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

Pasal 17
PARA ARTIS DAN ATLIT

  1. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 14 dan 15, penghasilan yang diperoleh penduduk dari Negara Pihak pada Persetujuan sebagai artis seperti artis teater, film, radio atau televisi atau pemain musik atau sebagai atlit, dari kegiatan-kegiatan perseorangan mereka yang dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

  2. Apabila penghasilan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan perseorangan yang dilakukan oleh artis atau atlit tersebut diterima bukan oleh artis atau atlit itu sendiri tetapi oleh orang atau badan lain, menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 7, 14 dan 15, maka penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana kegiatan-kegiatan hiburan atau olahraga itu dilakukan.

  3. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2, penghasilan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan yang disebut dalam ayat 1 yang dilakukan dibawah pengaturan atau persetujuan kebudayaan antara kedua Negara pihak pada Persetujuan akan dibebaskan dari pajak di Negara pihak pada Persetujuan tempat dilakukannya kegiatan itu apabila kunjungan ke Negara tersebut sepenuhnya atau sebagian besar dibiayai oleh Negara pihak lainnya pada Persetujuan, pemerintah daerahnya atau lembaga-lembaga pemerintahnya.

Pasal 18
P E N S I U N

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ayat 2 Pasal 19, pensiun dan imbalan sejenis lainnya yang dibayarkan kepada penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan dimasa lampau hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak lainnya itu, kecuali apabila pensiun atau imbalan sejenis lainnya itu bersumber dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan maka juga dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut

Pasal 19
PEJABAT PEMERINTAH

1. (a)

Imbalan, selain dari pensiun, yang dibayarkan oleh Negara pihak pada Persetujuan atau suatu bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan kepada Negara tersebut atau kepada suatu bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya, hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.

(b)

Namun demikian, imbalan tersebut hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan apabila jasa-jasa tersebut diberikan di Negara pihak lainnya itu dan orang tersebut adalah penduduk Negara itu yang :

(i)

merupakan warganegara Negara itu; atau

(ii)

tidak menjadi penduduk Negara itu semata-mata hanya untuk maksud memberikan jasa-jasa tersebut.

2. (a)

Pensiun yang dibayarkan oleh, atau dari dana yang dibentuk oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau suatu bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikannya kepada Negara itu atau suatu bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.

(b)

Namun demikian, pensiun tersebut hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan bilamana orang tersebut adalah penduduk dan warga negara dari Negara pihak lainnya tersebut.

3.

Ketentuan-ketentuan dalam Pasal-pasal 15, 16 dan 18 akan berlaku terhadap imbalan dan pensiun dari jasa-jasa yang diberikan sehubungan dengan kegiatan yang dijalankan oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau suatu bagian ketatanegaraannya atau pemerintah daerahnya.

Pasal 20
PEMBAYARAN YANG DITERIMA OLEH SISWA ATAU PEMAGANG

  1. Pembayaran-pembayaran yang diterima oleh siswa atau pemagang yang merupakan penduduk atau segera sebelum mengunjungi suatu Negara pihak pada Persetujuan merupakan penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dan berada di Negara yang disebutkan pertama semata-mata untuk mengikuti pendidikan atau latihan, tidak akan dikenakan pajak di Negara yang disebutkan pertama, sepanjang pembayaran-pembayaran tersebut adalah untuk biaya hidup, pendidikan atau latihannya dan pembayaran itu tidak berasal dari Negara itu.

  2. Menyimpang dari ketentuan pada ayat 1, siswa atau pemagang yang merupakan penduduk atau sebelumnya sebagai penduduk suatu Negara pada pihak pada Persetujuan, berada di suatu Negara pihak lainnya pada Persetujuan yang semata-mata untuk mengikuti pendidikan atau latihan, memperoleh penghasilan dari pemberian jasa di Negara pihak lainnya pada Persetujuan tidak akan dikenakan pajak di Negara tersebut, apabila jumlahnya tidak melebihi US$ 3,000.- atau yang setara dengan Dinar Tunisia atau Rupiah Indonesia dalam suatu tahun kalender, sepanjang penghasilan dari pemberian jasa tersebut sangat diperlukan untuk menambah penghasilan yang ada bagi biaya hidupnya.

Pasal 21
PENGHASILAN LAINNYA

  1. Jenis-jenis penghasilan lainnya yang tidak disebutkan dalam pasal-pasal terdahulu dalam Persetujuan ini, yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan dari manapun sumbernya, akan dikenakan pajak di Negara tersebut.

  2. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, jenis-jenis penghasilan lainnya yang tidak disebutkan dalam pasal-pasal terdahulu dalam Persetujuan ini yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan dan penghasilan tersebut timbul dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

Pasal 22
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Pajak berganda akan dihindarkan sebagai berikut :

  1. Dalam hal Tunisia :
    Bila seorang penduduk Tunisia memperoleh penghasilan, yang menurut ketentuan Persetujuan ini,dapat dikenakan pajak di Indonesia, maka Tunisia berdasarkan ketentuan Undang-undang Pajak Nasionalnya, akan memberikan pengurangan pajak sejumlah pajak penghasilan yang dibayar di Indonesia. Namun pengurangan tersebut tidak boleh melebihi sejumlah pajak penghasilan, tergantung dari masalahnya, yang diperkenankan di Tunisia berdasarkan perhitungan pajak sebelum pengurangan tersebut.

  2. Dalam hal Indonesia :
    Bila seorang penduduk Indonesia memperoleh penghasilan, yang menurut ketentuan-ketentuan persetujuan ini, dapat dikenakan pajak di Tunisia, maka Indonesia berdasarkan ketentuan Undang-undang Pajak Nasionalnya, akan memberikan pengurangan pajak sejumlah pajak penghasilan yang dibayar di Tunisia. Namun pengurangan tersebut tidak boleh melebihi sejumlah pajak penghasilan yang diperkenankan di Indonesia berdasarkan perhitungan pajak sebelum pengurangan tersebut.

Pasal 23
NON DISKRIMINASI

  1. Warganegara dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun sehubungan dengan pengenaan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, yang berlainan atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban yang dikenakan atau dapat dikenakan terhadap warganegara dari Negara pihak lainnya dalam keadaan yang sama. Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 1, ketentuan ini berlaku juga terhadap orang atau badan yang bukan merupakan penduduk di salah satu atau di kedua Negara.

  2. Pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari salah satu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, tidak akan dilakukan dengan cara yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan-kegiatan yang sama di Negara pihak lainnya itu.
    Ketentuan ini tidak dapat ditafsirkan sebagai mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan untuk memberikan kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan suatu potongan keluarga,keringanan-keringanan dan pengurangan-pengurangan apapun berdasarkan status sipil atau beban keluarga untuk tujuan pengenaan pajak seperti yang diberikan kepada penduduknya sendiri.

  3. Kecuali apabila berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 9, Pasal 11 ayat 7 atau Pasal 12 ayat 6, bunga, royalty dan pengeluaran lainnya yang dibayarkan oleh perusahaan suatu Negara pada pihak Persetujuan kepada penduduk suatu Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dalam rangka menghitung penghasilan kena pajak dari perusahaan tersebut, akan dikurangkan dengan persyaratan yang sama seperti kalau dibayarkan kepada penduduk Negara yang disebut pertama.

  4. Perusahaan di suatu negara pihak pada Persetujuan, yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung atau tidak langsung oleh penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun yang berkaitan dengan pengenaan pajak di Negara yang disebut pertama yang berlainan atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban dimaksud yang dikenakan atau dapat dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan lainnya yang serupa di Negara yang disebut pertama.

Pasal 24
TATA CARA PERSETUJUAN BERSAMA

  1. Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh perundang-undangan nasional dari masing-masing Negara, maka ia dapat mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang di Negara pihak pada Persetujuan dimana ia berkedudukan, atau apabila masalah yang timbul menyangkut ayat 1 Pasal 23 kepada pejabat yang berwenang di Negara pihak pada Persetujuan dimana ia menjadi warganegara. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu tiga tahun sejak pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini.

  2. Apabila keberatan yang diajukan itu beralasan dan apabila ia tidak dapat menemukan suatu penyelesaian yang memuaskan, Pejabat yang berwenang akan berusaha menyelesaikan masalah itu melalui persetujuan bersama dengan pejabat yang berwenang dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dengan semangat untuk mencegah penghindaran pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini.

  3. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan berusaha untuk menyelesaikan melalui suatu persetujuan bersama atas setiap kesulitan atau keragu-raguan yang timbul dalam penafsiran atau penerapan Persetujuan ini. Mereka dapat juga berkonsultasi bersama untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam persetujuan.

  4. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat-ayat sebelumnya. Apabila dimungkinkan dalam rangka mencapai kesepakatan dengan melalui pertukaran pendapat secara langsung, pertukaran pendapat tersebut dapat dilakukan melalui suatu komisi yang terdiri dari wakil pejabat-pejabat yang berwenang di suatu Negara pihak pada Persetujuan.

Pasal 25
PERTUKARAN INFORMASI

  1. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan melakukan tukar menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini atau untuk melaksanakan undang-undang nasional Negara masing-masing mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan pajak menurut undang-undang Negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Persetujuan ini. Pertukaran informasi tidak dibatasi oleh ketentuan Pasal 1. Setiap informasi yang diterima oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan akan dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi itu diperoleh berdasarkan perundang-undangan nasional Negara tersebut dan dapat diungkapkan hanya kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk pengadilan dan badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan keberatan berkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam persetujuan ini. Orang atau badan atau para pejabat tersebut hanya boleh memberikan informasi itu untuk maksud tersebut di atas, namun demikian dapat juga mengungkapkan informasi itu dalam pengadilan umum atau dalam pembuatan keputusan-keputusan pengadilan.

  2. Bagaimanapun juga Ketentuan-ketentuan ayat (1) sama sekali tidak dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membebankan kepada salah satu Negara pihak pada Persetujuan kewajiban untuk :

    (a)

    melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan dengan perundang-undangan atau praktek administrasi yang berlaku di Negara itu atau di Negara pihak lainnya pada Persetujuan;

    (b)

    memberikan informasi yang tidak mungkin diperoleh berdasarkan perundang-undangan atau dalam praktek administrasi yang lazim di Negara tersebut atau di Negara pihak lainnya pada Persetujuan;

    (c)

    memberikan informasi yang mengungkapkan setiap rahasia di bidang perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan atau informasi lainnya yang pengungkapannya bertentangan dengan kebijaksanaan umum (order public).

Pasal 26
PEJABAT DIPLOMATIK DAN KONSULER

Persetujuan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak istimewa di bidang fiskal dari pejabat-pejabat diplomatik dan konsuler berdasarkan peraturan-peraturan umum hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu persetujuan khusus.

Pasal 27
BERLAKUNYA PERSETUJUAN

  1. Masing-masing Negara pihak pada Persetujuan akan saling memberitahukan mengenai telah dipenuhinya syarat-syarat berdasarkan perundang-undangannya untuk memberlakukan Persetujuan ini. Persetujuan ini akan berlaku satu bulan setelah tanggal terakhir pemberitahuan ini.

  2. Ketentuan-ketentuan ini akan mulai berlaku :

    (a)

    mengenai pajak yang dipotong pada sumber, atas penghasilan yang dibayarkan atau dikreditkan pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun kalender sesudah tahun berlakunya Persetujuan ini; dan

    (b)

    mengenai pajak lainnya atas penghasilan, untuk tahun-tahun pajak yang mulai pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun kalender sesudah berlakunya Persetujuan ini.

Pasal 28
BERAKHIRNYA PERSETUJUAN

Persetujuan ini akan tetap berlaku sampai diakhiri oleh salah satu Negara pihak pada Persetujuan. Masing-masing Negara pihak pada Persetujuan pada atau sebelum tanggal tigapuluh Juni setiap tahun takwim berikutnya setelah jangka waktu 5 (lima) tahun sejak berlakunya Persetujuan, dapat menyampaikan pemberitahuan tertulis tentang berakhirnya Persetujuan kepada negara pihak pada Persetujuan lainnya, melalui saluran-saluran diplomatik, dan dalam hal demikian persetujuan ini akan tidak berlaku lagi:

(a)

mengenai pajak yang dipotong pada sumber, atas jumlah penghasilan yang dibayarkan atau dikreditkan kepada yang bukan penduduk pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun kalender berikutnya setelah tahun pemberitahuan berakhirnya Persetujuan diberikan; dan

(b)

mengenai pajak-pajak lainnya, untuk tahun-tahun pajak yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun kalender berikutnya setelah tahun pemberitahuan berakhirnya Persetujuan diberikan

SEBAGAI BUKTI, yang bertandatangan di bawah ini, yang diberi kuasa oleh Pemerintah masing-masing telah menandatangani Persetujuan ini.

DIBUAT dalam rangkap dua di Denpasar, Bali pada tanggal 13 Mei 1992, dalam bahasa Indonesia, Arab, Perancis dan Inggris dan dalam hal terjadi perbedaan dalam menafsirkan, maka yang berlaku adalah naskah bahasa Inggris.

UNTUK PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA

ALI ALATAS

UNTUK PEMERINTAH
REPUBLIK TUNISIA

HABIB BEN YAHIA

No comments:

Post a Comment