Sunday, December 6, 2009

P3B antara Indonesia dengan Sudan

PERSETUJUAN ANTARA
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
DAN
PEMERINTAH REPUBLIK SUDAN

TENTANG
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PAJAK ATAS PENGHASILAN

Pasal 1
ORANG DAN BADAN YANG TERCAKUP DALAM PERSETUJUAN

Persetujuan ini berlaku terhadap orang dan badan yang menjadi penduduk salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan.

Pasal 2
PAJAK-PAJAK YANG DICAKUP DALAM PERSETUJUAN INI

1.

Persetujuan ini berlaku terhadap pajak-pajak atas penghasilan yang dikenakan oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau pemerintah daerahnya tanpa memperhatikan cara pemungutan pajak-pajak tersebut.

2.

Dianggap sebagai pajak-pajak atas penghasilan adalah semua pajak yang dikenakan atas seluruh penghasilan atau bagian-bagian penghasilan, termasuk pajak-pajak atas keuntungan yang diperoleh dari pemindahtanganan harta gerak atau harta tak gerak.

3.

Persetujuan ini diterapkan terhadap pajak-pajak yang berlaku sekarang ini, yaitu :


(a)

di Republik Indonesia :
pajak penghasilan yang dipungut berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan 1984 (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah);
(selanjutnya disebut sebagai "pajak Indonesia");

(b)

di Republik Sudan :
(i) pajak atas penghasilan;
(ii) pajak atas keuntungan pengalihan harta;
(selanjutnya disebut sebagai "pajak Sudan").

4.

Persetujuan ini berlaku pula terhadap setiap pajak yang serupa atau pada hakekatnya sama yang dikenakan setelah tanggal penandatanganan Persetujuan ini sebagai tambahan atau sebagai pengganti dari pajak-pajak yang sekarang berlaku. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan harus saling memberitahukan satu sama lain mengenai setiap perubahan-perubahan penting yang terjadi dalam perundang-undangan perpajakan mereka.

Pasal 3
PENGERTIAN-PENGERTIAN UMUM

1.

Kecuali jika dari hubungan kalimatnya harus diartikan lain, yang dimaksud dalam Persetujuan ini dengan :


(a)
(i)

Istilah "Indonesia", berarti wilayah Republik Indonesia sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangannya;

(ii)

Istilah "Sudan" berarti wilayah Republik Sudan sebagaimana ditentukan dalam perundang-undangannya;

(b)

istilah "orang/badan" meliputi orang pribadi, perseroan dan setiap kumpulan dari orang-orang dan/atau badan-badan;

(c)

istilah "perseroan" berarti setiap badan hukum atau setiap entitas yang untuk tujuan pemungutan pajak diperlakukan sebagai suatu badan hukum;

(d)

istilah "perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan" dan "perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan" masing-masing berarti suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan yang dijalankan oleh penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan;

(e)

istilah "lalu lintas internasional" berarti setiap pengangkutan oleh kapal laut atau pesawat udara yang dilakukan oleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, kecuali jika kapal atau pesawat udara itu semata-mata dioperasikan antara tempat-tempat di Negara pihak lainnya pada Persetujuan;

(f)

istilah "pejabat yang berwenang" berarti :

(i)

dalam hal Indonesia, Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah;

(ii)

dalam hal Sudan, Menteri Keuangan atau wakilnya yang sah.

(g)

istilah "warganegara" berarti :

(i)

setiap orang pribadi yang memiliki kewarganegaraan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan;

(ii)

setiap badan hukum, usaha bersama dan persekutuan yang statusnya mereka peroleh berdasarkan hukum yang berlaku pada salah satu Negara pihak pada Persetujuan.

2.

Sehubungan dengan penerapan Persetujuan pada setiap waktu oleh salah satu Negara pihak pada Persetujuan, setiap istilah yang tidak dirumuskan dalam Persetujuan ini mempunyai arti menurut perundang-undangan Negara itu sepanjang mengenai pajak-pajak yang diatur dalam Persetujuan ini.

Pasal 4
PENDUDUK

1.

Untuk kepentingan Persetujuan ini, istilah "penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan" berarti setiap orang dan badan, yang menurut perundang-undangan Negara tersebut dapat dikenakan pajak di Negara itu berdasarkan domisilinya, tempat kediamannya, tempat kedudukan manajemennya, ataupun atas dasar lainnya yang sifatnya serupa.

2.

Jika seseorang menurut ketentuan-ketentuan pada ayat 1 menjadi penduduk di kedua Negara pihak pada Persetujuan, maka statusnya akan ditentukan sebagai berikut :

(a)

ia hanya akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya; apabila ia mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia di kedua Negara, ia akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana terdapat hubungan-hubungan pribadi dan ekonomi yang lebih erat (pusat kepentingan-kepentingan pokok);

(b)

jika Negara di mana pusat kepentingan-kepentingan pokoknya tidak dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal tetap yang tersedia baginya di salah satu Negara, maka ia hanya akan dianggap sebagai penduduk Negara di mana ia biasanya berdiam;

(c)

jika ia mempunyai tempat kebiasaan berdiam di kedua Negara atau atau sama sekali tidak mempunyainya di salah satu Negara tersebut, maka pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan menyelesaikan masalahnya berdasarkan persetujuan bersama.

3.

Apabila berdasarkan ketentuan-ketentuan ayat 1, suatu badan mempunyai tempat kedudukan di kedua Negara pihak pada persetujuan, maka badan tersebut hanya akan dianggap berkedudukan di Negara dimana tempat kedudukan manajemen yang efektif berada.

Pasal 5
BENTUK USAHA TETAP

1.

Untuk kepentingan Persetujuan ini istilah "bentuk usaha tetap" berarti suatu tempat usaha tetap di mana seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan dijalankan.

2.

Istilah "bentuk usaha tetap" terutama meliputi :

(a) suatu tempat kedudukan manajemen;
(b) suatu cabang;
(c) suatu kantor;
(d) suatu pabrik;
(e) suatu bengkel;
(f) suatu gudang yang digunakan sebagai tempat penjualan;
(g) suatu pertanian atau perkebunan;
(h)

suatu tambang, sumur minyak atau gas, suatu penggalian atau suatu tempat penggalian atau eksplorasi atau eksploitasi sumber alam daya alam, tempat atau kapal pengeboran.

3.

Istilah "bentuk usaha tetap" juga meliputi :

(a)

suatu bangunan atau proyek konstruksi, perakitan atau instalasi atau kegiatan pengawasan yang ada hubungan dengan proyek tersebut, asalkan kegiatan tersebut berlangsung lebih dari 6 bulan.

(b)

pemberian jasa, termasuk jasa konsultan yang dilakukan oleh suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan melalui karyawannya atau orang lain yang dipekerjakan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, apabila kegiatan-kegiatan tersebut berlangsung untuk proyek yang sama atau proyek yang ada kaitannya untuk suatu masa atau masa-masa yang berjumlah lebih dari 3 bulan dalam periode 12 bulan.

4.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dari Pasal ini, istilah "bentuk usaha tetap" tidak meliputi :

(a)

penggunaan fasilitas-fasilitas semata-mata dengan maksud untuk menyimpan, memamerkan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan;

(b)

pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk disimpan, dipamerkan;

(c)

pengurusan suatu persediaan barang-barang atau barang dagangan milik perusahaan semata-mata dengan maksud untuk diolah oleh perusahaan lain;

(d)

pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk pembelian barang-barang atau barang dagangan atau untuk mengumpulkan informasi bagi keperluan perusahaan;

(e)

pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud untuk pemasaran, atau penyediaan informasi;

(f)

pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata dengan maksud menjalankan setiap kegiatan lainnya yang bersifat persiapan atau penunjang bagi perusahaan;

(g)

pengurusan suatu tempat usaha tetap semata-mata ditujukan untuk melakukan gabungan kegiatan-kegiatan seperti disebutkan pada sub ayat (a) sampai dengan sub ayat (f), asalkan hasil penggabungan seluruh kegiatan-kegiatan tersebut bersifat persiapan atau penunjang.

5.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2, apabila orang atau badan, kecuali agen yang bertindak bebas sebagaimana berlaku ayat 6, bertindak di Negara pihak pada persetujuan atas nama perusahaan dari suatu perusahaan Negara pihak lainnya pada persetujuan, maka perusahaan tersebut harus dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di negara yang disebutkan pertama sehubungan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh orang atau badan untuk perusahaan, jika orang atau badan tersebut :

(a)

mempunyai dan biasa melakukan wewenang untuk menutup kontrak atas nama perusahaan tersebut kecuali apabila kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang atau badan tersebut terbatas pada kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 yang apabila dilakukan melalui tempat usaha tetap tidak akan membuat tempat usaha tetap ini menjadi bentuk usaha tetap menurut ketentuan-ketentuan ayat tersebut; atau

(b)

tidak mempunyai wewenang untuk menutup kontrak, tetapi mempunyai kebiasaan di Negara pihak pada Persetujuan menyimpan persediaan barang yang dikirimkan atas nama perusahaan oleh orang atau badan tersebut; atau

(c)

membuat atau mengolah barang yang dimiliki oleh perusahaan di Negara pihak pada Persetujuan atau menjual barang tersebut pada perusahaan.

6.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Pasal ini, suatu perusahaan asuransi selain reasuransi di Negara pihak pada persetujuan akan dianggap memiliki suatu bentuk usaha tetap di Negara pihak pada persetujuan lainnya jika perusahaan tersebut menghimpun premi di Negara pihak pada persetujuan lainnya atau menanggung resiko melalui orang atau badan selain suatu agen yang bertindak bebas sebagaimana diatur dalam Pasal 7.

7.

Suatu perusahaan tidak akan dianggap mempunyai suatu bentuk usaha tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan hanya semata-mata karena perusahaan itu menjalankan usaha di Negara itu melalui makelar, komisioner umum, atau agen lainnya yang bertindak bebas, sepanjang orang atau badan tersebut bertindak dalam rangka kegiatan usahanya yang lazim. Namun demikian, apabila aktivitas dari suatu agen tersebut seluruhnya atau hampir seluruhnya diperuntukkan atas nama perusahaan, ia akan dianggap sebagai agen bebas sesuai dengan yang dimaksud ayat ini.

8.

Jika suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan menguasai atau dikuasai oleh perseroan yang berkedudukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan ataupun menjalankan usaha di Negara pihak lainnya itu (baik melalui suatu bentuk usaha tetap ataupun dengan suatu cara lain), maka hal itu tidak dengan sendirinya akan berakibat bahwa salah satu dari perseroan itu merupakan bentuk usaha tetap dari yang lainnya.

Pasal 6
PENGHASILAN DARI HARTA TAK GERAK

1.

Penghasilan yang diperoleh seorang penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari harta tak gerak (termasuk penghasilan yang diperoleh dari pertanian atau kehutanan) yang berada di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara lain tersebut.

2.

Istilah "harta tak gerak" akan mempunyai arti sesuai dengan perundang-undangan Negara pihak pada Persetujuan dimana harta yang bersangkutan berada. Istilah tersebut meliputi juga benda-benda yang menyertai harta tak gerak, ternak dan peralatan yang dipergunakan dalam usaha pertanian dan kehutanan, hak-hak terhadap mana berlaku ketentuan-ketentuan dalam hukum umum mengenai pemilikan atas lahan, hak memungut hasil atas harta tak gerak, serta hak atas pembayaran-pembayaran tetap atau tak tetap sebagai balas jasa untuk pengerjaan, atau hak untuk mengerjakan kandungan mineral, sumber-sumber dan sumber-sumber kekayaan alam lainnya. Kapal laut dan pesawat udara tidak dianggap sebagai harta tak gerak.

3.

Ketentuan-ketentuan pada ayat 1 berlaku juga terhadap penghasilan yang diperoleh dari penggunaan secara langsung, dari penyewaan, atau dari penggunaan harta tak gerak dalam bentuk apapun.

4.

Ketentuan-ketentuan dalam ayat-ayat 1 dan 3 berlaku juga terhadap penghasilan yang diperoleh dari harta tak gerak suatu perusahaan dan terhadap penghasilan dari harta tak gerak yang digunakan dalam menjalankan pekerjaan bebas

Pasal 7
LABA USAHA

1.

Laba suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan hanya dikenakan pajak di Negara itu kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya sebagai dimaksud di atas, maka laba perusahaan itu dapat dikenakan pajak di negara lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari (a) bentuk usaha tetap tersebut; (b) penjualan barang yang sama dan sejenis dengan barang yang dijual melalui bentuk usaha tersebut; atau (c) kegiatan usaha lainnya yang dilakukan di Negara lain yang sama dan sejenis dengan kegiatan usaha yang dilakukan melalui bentuk usaha tersebut.

2.

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan ayat 3, jika suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap itu oleh masing-masing Negara pihak pada Persetujuan ialah laba yang diperolehnya seandainya bentuk usaha tetap tersebut merupakan suatu perusahaan yang terpisah dan bertindak bebas yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau serupa, dalam keadaan yang sama atau serupa, dan mengadakan hubungan yang sepenuhnya bebas dengan perusahaan yang memiliki bentuk usaha tetap itu.

3.

Dalam menentukan besarnya laba suatu bentuk usaha tetap, dapat dikurangkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan dari bentuk usaha tetap itu termasuk biaya-biaya pimpinan dan biaya-biaya administrasi umum baik yang dikeluarkan di Negara di mana bentuk usaha tetap itu berada ataupun di tempat lain. Namun demikian tidak diperkenankan untuk dikurangkan pembayaran-pembayaran yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya (selain dari penggantian biaya yang benar-benar dikeluarkan) berupa royalty, biaya atau pembayaran-pembayaran serupa lainnya karena penggunaan patent atau hak-hak lain, atau berupa komisi, untuk jasa-jasa tertentu yang dilakukan atau untuk manajemen, atau, kecuali dalam hal usaha perbankan, berupa bunga atas pinjaman yang diberikan kepada bentuk usaha tetap. Sebaliknya tidak diperhitungkan sebagai laba bentuk usaha tetap adalah jumlah-jumlah yang dibebankan oleh bentuk usaha tetap kepada kantor pusatnya atau kantor-kantor lain milik kantor pusatnya (selain penggantian yang benar-benar dikeluarkan) berupa royalty, biaya atau pembayaran-pembayaran serupa lainnya karena penggunaan patent atau hak-hak lain, atau berupa komisi, untuk jasa-jasa tertentu yang dilakukan atau untuk manajemen, atau, kecuali dalam hal usaha perbankan, berupa bunga atas pinjaman yang diberikan kepada kantor pusatnya atau kantor lainnya milik kantor pusatnya.

4.

Demi penerapan ayat-ayat terdahulu, besarnya laba bentuk usaha tetap harus ditentukan dengan cara yang sama dari tahun ke tahun, kecuali jika terdapat alasan yang kuat dan cukup untuk melakukan penyimpangan.

5.

Jika dalam jumlah laba tersebut termasuk bagian-bagian penghasilan yang diatur secara tersendiri pada Pasal-pasal lain dalam Persetujuan ini, maka ketentuan pasal-pasal tersebut tidak akan terpengaruh oleh ketentuan-ketentuan Pasal ini.

Pasal 8
PERKAPALAN DAN PENGANGKUTAN UDARA

1.

Laba yang diperoleh oleh perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan yang berasal dari pengoperasian kapal-kapal laut atau pesawat udara di jalur lalu lintas internasional hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.

2.

Ketentuan-ketentuan ayat 1 berlaku pula terhadap laba dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha bersama atau dari suatu perwakilan untuk operasi internasional.

Pasal 9
PERUSAHAAN-PERUSAHAAN YANG MEMPUNYAI HUBUNGAN ISTIMEWA

1.

Apabila :

(a)

suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, atau

(b)

orang atau badan yang sama baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan. dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazimnya berlaku antara perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain, maka setiap laba yang seharusnya diterima oleh salah satu perusahaan jika syarat-syarat itu tidak ada, namun tidak diterimanya karena adanya syarat-syarat tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenakan pajak.

2.

Apabila suatu Negara pihak pada Persetujuan melakukan pembetulan atas laba suatu perusahaan di negara itu dan dikenakan pajak, sedang bagian laba yang dibetulkan itu adalah juga merupakan laba perusahaan yang telah dikenakan pajak di negara pihak lainnya pada Persetujuan dan laba tersebut adalah laba yang memang seharusnya diperoleh perusahaan di Negara yang disebut pertama seandainya berdasarkan syarat-syarat yang dibuat antara kedua perusahaan yang sepenuhnya bebas, Negara pihak lainnya pada Persetujuan akan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas jumlah laba yang dikenakan pajak dari perusahaan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan tersebut. Dalam melakukan penyesuaian-penyesuaian itu, diharuskan untuk memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam persetujuan ini dan apabila dianggap perlu pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara saling berkonsultasi.

3.

Negara pihak pada Persetujuan tidak akan melakukan pembetulan laba perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat 2, apabila batas waktu yang diberikan oleh masing-masing undang-undang pajaknya telah dilampaui.

Pasal 10
DIVIDEN

1.

Dividen yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

2.

Namun demikian, jika penerima dividen adalah penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% dari jumlah bruto dividen.

3.

Istilah "dividen" sebagaimana digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari saham-saham atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat piutang, yang berhak atas pembagian laba, maupun penghasilan lainnya dari hak-hak perseroan yang oleh undang-undang perpajakan Negara dimana perseroan yang membagikan dividen itu berkedudukan, dalam pengenaan pajaknya diperlakukan sama dengan penghasilan dari saham-saham.

4.

Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2 tidak akan berlaku apabila pemilik saham yang menikmati dividen, yang merupakan penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dimana perseroan yang membayarkan dividen itu berkedudukan, melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, atau menjalankan pekerjaan bebas dengan suatu tempat usaha tetap yang berada di sana dan pemilikan saham-saham yang menghasilkan dividen itu mempunyai hubungan yang efektif dengan bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap itu. Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.

5.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini, apabila suatu perseroan yang berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan mempunyai bentuk usaha tetap di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, maka keuntungan bentuk usaha tetap tersebut dapat dikenakan pajak tambahan di Negara lainnya itu sesuai dengan undang-undangnya, namun pajak tambahan tersebut tidak akan melebihi 10% dari jumlah keuntungan setelah dikurangi dengan pajak penghasilan dan pajak-pajak lainnya atas penghasilan yang dikenakan di Negara lain tersebut.

6.

Ketentuan-ketentuan dari ayat 5 Pasal ini tidak akan mempengaruhi ketentuan yang terdapat dalam setiap kontrak bagi hasil dan kontrak-kontrak karya (atau kontrak lainnya yang serupa) di sektor minyak dan gas bumi atau sektor pertambangan lainnya yang disetujui oleh Pemerintah Indonesia, badan-badan pemerintahnya, perusahaan minyak dan gas milik negara, atau badan-badan lainnya yang merupakan penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan.

Pasal 11
BUNGA

1.

Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

2.

Tarip yang dikenakan oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan terhadap bunga yang bersumber dari Negara tersebut dan merupakan hak dari penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan tidak akan melebihi 15 persen dari jumlah bruto bunga.

3.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 2, bunga yang berasal disuatu Negara pihak pada Persetujuan dan diterima oleh Pemerintah Negara pihak lainnya pada Persetujuan termasuk Pemerintah daerahnya, Bank Sentral atau setiap lembaga keuangan yang diawasi oleh Pemerintah, yang seluruh modalnya dimiliki oleh Pemerintah dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, yang dari waktu ke waktu disetujui diantara pejabat-pejabat berwenang dari Negara-negara pihak pada Persetujuan, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara yang disebut pertama.

4.

Istilah "bunga" yang digunakan dalam Pasal ini berarti penghasilan dari semua jenis tagihan hutang, baik yang dijamin dengan hipotik maupun yang tidak dan baik yang mempunyai hak atas pembagian laba maupun yang tidak dan khususnya penghasilan dari surat-surat perbendaharaan Negara dan surat-surat obligasi atau surat-surat hutang, termasuk premi dan hadiah yang terikat pada surat-surat berharga, obligasi atau surat-surat hutang tersebut termasuk pula penghasilan dari hutang yang dimaksud undang-undang Negara dimana penghasilan tersebut berasal, termasuk bunga atas keterlambatan pembayaran.

5.

Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan ayat 2 tidak akan berlaku apabila pemberi pinjaman yang menikmati bunga tadi berkedudukan di suatu Negara pihak pada Persetujuan, melakukan kegiatan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dimana tempat bunga itu berasal melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada di sana, atau menjalankan pekerjaan bebas di Negara lainnya melalui suatu tempat usaha tetap yang berada di sana, dan tagihan hutang yang menghasilkan bunga itu mempunyai hubungan yang efektif dengan (a) bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap itu, atau dengan (b) kegiatan usaha yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1 huruf c. Dalam hal demikian, tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan-ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.

6.

Bunga dianggap berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan apabila yang membayarkan bunga adalah Negara itu sendiri, pemerintah daerahnya atau penduduk Negara tersebut. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayar bunga itu, tanpa memandang apakah ia penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan atau tidak, mempunyai bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan di mana bunga yang dibayarkan menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap tersebut, maka bunga itu akan dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan dimana bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap itu berada.

7.

Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar bunga dengan pemilik yang menikmati bunga atau antara keduanya dengan orang atau badan lain dengan memperhatikan besarnya tagihan hutang yang menghasilkan bunga itu, jumlah bunga yang dibayarkan melebihi jumlah yang seharusnya disetujui antara pembayar dan pemilik yang menikmati bunga seandainya hubungan istimewa itu tidak ada, maka ketentuan-ketentuan Pasal ini akan berlaku hanya atas jumlah yang telah disetujui tersebut. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini.

Pasal 12
ROYALTI

1.

Royalti yang berasal dari Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

2.

Tarip yang dikenakan oleh Negara pihak pada Persetujuan terhadap royalty yang bersumber dari Negara tersebut dan merupakan hak dari penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan tidak akan melebihi 10% dari jumlah bruto royalty sebagaimana dimaksud dalam ayat 3.

3.

Istilah "Royalti" dalam Pasal ini berarti setiap jenis pembayaran, baik secara periodik atau tidak, dan dalam bentuk atau nama apapun yang diterima sebagai imbalan untuk :

(a)

penggunaan atau, hak untuk menggunakan, mengcopy patent, pola atau model, rencana rumus atau cara pengolahan yang dirahasiakan, merk dagang ataupun kekayaan atau hak lainnya; atau

(b)

penggunaan, atau hak untuk mengunakan alat-alat perlengkapan, industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan; atau

(c)

penyediaan pengetahuan, teknik, industri atau pengetahuan di bidang perdagangan atau informasi; atau

(d)

penyerahan berbagai bantuan yang merupakan pelengkap atau kekayaan tambahan atau hak seperti yang disebut pada sub ayat a, setiap perlengkapan seperti dalam sub ayat b atau setiap pengetahuan atau informasi seperti disebutkan pada sub ayat c; atau

(e)

penggunaan dari, atau hak untuk menggunakan :
(i) film-film gambar hidup; atau
(ii) film-film atau video yang digunakan dalam hubungannya dengan televisi; atau
(iii) tape yang digunakan dalam hubungannya dengan siaran radio.

4.

Ketentuan-ketentuan ayat 1 dan ayat 2 tidak berlaku, apabila pihak yang memiliki hak menikmati royalti, yang merupakan penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan menjalankan usaha di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dimana royalti berasal, melalui suatu bentuk usaha tetap yang berada disana, atau melakukan suatu pekerjaan bebas di Negara lainnya itu melalui suatu tempat usaha tetap, dan hak atau harta yang menghasilkan royalti itu mempunyai hubungan yang efektif dengan : (a) bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap itu; atau dengan (b) kegiatan-kegiatan usaha yang disebutkan sebelumnya pada Pasal 7 ayat 1 huruf c. Dalam hal demikian tergantung pada masalahnya, berlaku ketentuan Pasal 7 atau Pasal 14.

5.

Royalti dapat dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan apabila pembayarannya adalah Negara itu sendiri, pemerintah daerahnya atau penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan tersebut. Namun demikian, apabila orang atau badan yang membayarkan royalti itu, tanpa memandang apakah ia penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan atau bukan, memiliki bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap di suatu Negara pihak pada Persetujuan di mana kewajiban membayar royalti timbul, dan royalti tersebut menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap tersebut, maka royalti itu dianggap berasal dari Negara pihak pada Persetujuan dimana bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap itu berada.

6.

Jika karena alasan adanya hubungan istimewa antara pembayar dengan pemilik hak yang menikmati atau antara kedua-duanya dengan orang atau/badan lain, berkenaan dengan penggunaan hak atau keterangan yang mengakibatkan pembayaran itu, jumlah royalti yang dibayarkan itu melebihi jumlah yang seharusnya disepakati oleh pembayar dan pemilik hak seandainya tidak ada hubungan istimewa, maka ketentuan-ketentuan Pasal ini hanya akan berlaku terhadap jumlah yang disebut terakhir. Dalam hal demikian, jumlah kelebihan pembayaran tersebut akan tetap dikenakan pajak sesuai dengan perundang-undangan masing-masing Negara pihak pada Persetujuan, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan lainnya dalam Persetujuan ini.

Pasal 13
KEUNTUNGAN DARI PEMINDAHTANGANAN HARTA

1.

Keuntungan yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan dari pemindahtanganan harta tak gerak, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan terletak di Negara pihak lainnya pada persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

2.

Keuntungan dari pemindahtanganan harta gerak yang merupakan bagian kekayaan suatu bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh perusahaan dari suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan atau dari harta gerak yang merupakan bagian dari suatu tempat usaha tetap yang tersedia bagi penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan untuk maksud melakukan pekerjaan bebas, termasuk keuntungan dari pemindahtanganan bentuk usaha tetap itu (tersendiri atau beserta keseluruhan perusahaan) atau tempat usaha tetap, dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

3.

Keuntungan yang diperoleh Perusahaan dari Suatu Negara pihak pada Persetujuan dari pemindahtanganan kapal-kapal laut atau pesawat udara yang beroperasi di jalur lalu lintas internasional atau harta gerak yang menjadi bagian dari operasi kapal laut atau pesawat udara hanya akan dikenakan pajak di Negara tersebut.

4.

Keuntungan dari pemindahtanganan harta lainnya kecuali yang disebut pada ayat-ayat sebelumnya hanya akan dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan di Negara mana orang atau badan yang memindahkan harta itu adalah sebagai penduduk.

Pasal 14
PEKERJAAN BEBAS

1.

Penghasilan yang diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan sehubungan dengan jasa-jasa profesional atau pekerjaan bebas lainnya hanya akan dikenakan pajak di Negara itu kecuali apabila ia mempunyai tempat usaha tetap yang tersedia secara teratur baginya di Negara pihak lainnya pada Persetujuan untuk menjalankan kegiatan-kegiatannya atau ia tinggal di Negara pihak lainnya pada Persetujuan untuk suatu masa atau masa-masa yang melebihi 90 hari dalam masa 12 bulan. Apabila ia mempunyai tempat tetap tersebut atau berada di Negara pihak lainnya pada Persetujuan selama masa atau masa-masa tersebut di atas, maka penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara lain itu hanya sepanjang penghasilan tersebut diperoleh dari kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di Negara tersebut selama masa atau masa-masa tersebut diatas.

2.

Istilah "jasa-jasa profesional" terutama meliputi kegiatan-kegiatan di bidang ilmu pengetahuan, kesusasteraan, kesenian, pendidikan atau pengajaran yang dilakukan secara independen, demikian juga pekerjaan-pekerjaan bebas yang dilakukan oleh para dokter, ahli hukum, ahli teknik, arsitek, dokter gigi, dan para akuntan.

Pasal 15
PEKERJAAN DALAM HUBUNGAN KERJA

1.

Dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Pasal-pasal 16, 18, 19, dan 20 gaji, upah dan imbalan lainnya yang serupa yang diperoleh penduduk suatu Negara pihak pada Persetujuan karena pekerjaan dalam hubungan kerja, hanya akan dikenakan pajak dinegara itu, kecuali pekerjaan tersebut dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan. Dalam hal demikian, maka imbalan yang diterima dari pekerjaan dimaksud dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya itu.

2.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1, imbalan yang diterima atau diperoleh penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dari pekerjaan yang dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, hanya akan dikenakan pajak di Negara yang disebut pertama apabila :

(a)

penerima imbalan berada di Negara pihak lainnya itu dalam suatu masa atau masa-masa yang jumlahnya tidak melebihi 183 hari dalam jangka waktu dua belas bulan; dan

(b)

imbalan itu dibayarkan oleh, atau atas nama pemberi kerja yang bukan merupakan penduduk Negara pihak lainnya tersebut; dan

(c)

imbalan itu tidak menjadi beban bentuk usaha tetap atau tempat usaha tetap yang dimiliki oleh pemberi kerja di Negara pihak lainnya tersebut.

3.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan sebelumnya dalam Pasal ini, imbalan yang diperoleh karena pekerjaan yang dilakukan di atas kapal laut atau pesawat udara yang dioperasikan, dalam jalur lalu lintas internasional oleh suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara tersebut.

Pasal 16
IMBALAN PARA DIREKTUR

1.

Imbalan para direktur dan pembayaran-pembayaran serupa lainnya yang diperoleh penduduk Negara pihak pada Persetujuan dalam kedudukannya sebagai anggota dewan direktur suatu perseroan atau setiap organ lain yang serupa dari perusahaan yang berkedudukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

2.

Imbalan yang diterima atau diperoleh orang sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dari perusahaan dalam hubungannya dengan melakukan fungsi sehari-hari sebagai pimpinan atau teknisi dapat dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan Pasal 15.

Pasal 17
PARA ARTIS DAN ATLIT

1.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 14 dan 15, penghasilan yang diperoleh penduduk dari Negara pihak pada Persetujuan sebagai penghibur seperti artis teater, film, radio atau televisi atau pemain musik atau sebagai olahragawan, dari kegiatan-kegiatan pribadinya yang dilakukan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya tersebut.

2.

Apabila penghasilan sehubungan dengan kegiatan-kegiatan pribadi yang dilakukan oleh penghibur atau olahragawan tersebut diterima bukan oleh penghibur atau olahragawan itu sendiri tetapi oleh orang atau badan lain, menyimpang dari ketentuan-ketentuan Pasal 7, 14 dan 15, maka penghasilan tersebut dapat dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan dimana kegiatan-kegiatan penghibur atau olahragawan itu dilakukan.

3.

Menyimpang dari ketentuan-ketentuan ayat 1 dan 2, penghasilan yang diperoleh dari kegiatan-kegiatan yang disebut dalam ayat 1 yang dilakukan dibawah pengaturan atau persetujuan kebudayaan antara kedua Negara pihak pada Persetujuan tempat dilakukannya kegiatan itu apabila kunjungan ke Negara tersebut sepenuhnya atau sebagian besar dibiayai oleh salah satu Negara pihak pada Persetujuan atau kedua-duanya, pemerintah daerah atau lembaga-lembaga kemasyarakatan.

Pasal 18
PENSIUN

1.

Dalam memperhatikan ketentuan-ketentuan ayat 2 Pasal 19, pensiun dan imbalan sejenis lainnya yang dibayarkan kepada penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan yang bersumber dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa-jasa dalam hubungan kerja di Negara pihak lainnya pada Persetujuan di masa lampau dan tunjangan hari tua yang dibayarkan kepada penduduk dari sumber penghasilan hanya akan dikenakan pajak di Negara itu.

2.

Istilah "tunjangan hari tua" berarti suatu jumlah tertentu yang dibayar secara berkala pada waktu-waktu tertentu selama hidup atau selama suatu periode tertentu atau masa waktu yang dapat diketahui dengan kewajiban untuk melakukan pembayaran-pembayaran sebagai imbalan yang memadai dalam bentuk uang atau yang dapat dinilai dengan uang.

Pasal 19
PEJABAT PEMERINTAH

1.
(a)

Imbalan, selain dari pensiun, yang dibayarkan oleh Negara pihak pada Persetujuan atau pemerintah daerahnya kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikan kepada Negara tersebut atau pemerintah daerahnya, hanya dikenakan pajak di Negara itu.

(b)

Namun demikian, imbalan tersebut hanya dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan apabila jasa-jasa tersebut diberikan di Negara pihak lainnya itu dan orang tersebut adalah penduduk Negara itu yang :
i) merupakan warganegara dari Negara itu; atau
ii) tidak menjadi penduduk Negara itu semata-mata hanya untuk maksud memberikan jasa-jasa tersebut.

2.
(a)

Pensiun yang dibayarkan oleh, atau dari dana yang dibentuk oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau pemerintah daerahnya kepada seseorang sehubungan dengan jasa-jasa yang diberikannya kepada Negara itu atau pemerintah daerahnya hanya dikenakan pajak di Negara itu.

(b)

Namun demikian, pensiun tersebut hanya dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan bilamana orang tersebut adalah penduduk dan warga negara dari Negara pihak lainnya itu.

3.

Ketentuan-ketentuan dalam Pasal-pasal 15, 16 dan 18 akan berlaku terhadap imbalan dan pensiun dari jasa-jasa yang diberikan sehubungan dengan usaha yang dijalankan oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan atau pemerintah daerahnya.

Pasal 20
GURU DAN PENELITI

Seseorang yang merupakan penduduk atau segera sebelum mengunjungi suatu Negara pihak pada Persetujuan merupakan penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dan atas undangan dari pemerintah Negara yang disebut pertama atau Universitas, sekolah, musium atau institusi kebudayaan di negara tersebut atau dibawah program yang resmi dari pertukaran kebudayaan, berada di Negara tersebut untuk masa tidak lebih dari dua tahun berturut-turut semata-mata sebagai pengajar, memberi kuliah, atau melakukan penelitian pada institusi tersebut akan dikecualikan dari pajak di Negara pihak pada Persetujuan atas imbalan untuk kegiatannya.

Pasal 21
PELAJAR DAN PESERTA PELATIHAN

  1. Pembayaran-pembayaran kepada seorang pelajar atau peserta pelatihan yang sebelum mengunjungi Negara pihak pada Persetujuan adalah penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan semata-mata untuk kepentingan pendidikannya atau pelatihan, akan dibebaskan dari pengenaan pajak di Negara tersebut, sepanjang pembayaran-pembayaran tersebut berasal dari luar Negara tersebut.

  2. Sehubungan dengan bantuan-bantuan, beasiswa dan imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang tidak dicakup dalam ayat 1, seorang pelajar atau peserta pelatihan yang dimaksud dalam ayat 1, selama pendidikan atau pelatihan berhak atas pembebasan, pengecualian atau pengurang atas pajak-pajak yang dapat dikenakan pada penduduk dari suatu Negara pihak pada Persetujuan yang ia kunjungi.

Pasal 22
PENGHASILAN LAINNYA

Jenis-jenis penghasilan dari penduduk Negara pihak pada Persetujuan, dimanapun sumbernya, yang tidak diatur dalam pasal-pasal pada Persetujuan, selain penghasilan dalam bentuk lotere, hadiah akan dikenakan pajak di Negara tersebut.

Pasal 23
PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA

Bila seorang penduduk Negara pihak pada Persetujuan memperoleh penghasilan dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan yang menurut ketentuan-ketentuan Persetujuan ini, jumlah pajak atas penghasilan tersebut yang dibayarkan di Negara pihak lainnya pada persetujuan dapat dikreditkan terhadap pajak di Negara pihak pada Persetujuan yang dikenakan terhadap penduduk itu. Namun demikian, jumlah kredit itu tidak boleh melebihi bagian pajak di Negara pihak pada Persetujuan atas penghasilan tersebut yang dihitung sesuai dengan Undang-undang dan peraturan perpajakannya.

Pasal 24
NON DISKRIMINASI

1.

Warga negara dari suatu Negara pihak pada Persetujuan tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun sehubungan dengan pengenaan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, yang berlainan atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban pihak, yang dikenakan atau dapat dikenakan terhadap warganegara dari Negara pihak lainnya dalam keadaan yang sama.

2.

Pengenaan pajak atas bentuk usaha tetap yang dimiliki oleh suatu perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan di Negara pihak lainnya pada Persetujuan, tidak akan dilakukan dengan cara yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan pengenaan pajak atas perusahaan-perusahaan yang menjalankan kegiatan-kegiatan yang sama di Negara pihak lainnya itu. Ketentuan ini tidak dapat ditafsirkan sebagai mewajibkan suatu Negara pihak pada Persetujuan untuk memberikan kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan suatu potongan pribadi, keringanan-keringanan dan pengurangan-pengurangan untuk kepentingan pengenaan pajak berdasarkan status sipil atau tanggung jawab keluarga seperti yang diberikan kepada penduduknya sendiri.

3.

Perusahaan di suatu Negara pihak pada Persetujuan, yang modalnya sebagian atau seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung atau tidak langsung oleh penduduk dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, tidak akan dikenakan pajak atau kewajiban apapun yang berkaitan dengan pengenaan pajak di Negara yang disebut pertama yang berlainan atau lebih memberatkan daripada pengenaan pajak dan kewajiban-kewajiban dimaksud yang dikenakan atau dapat dikenakan terhadap perusahaan-perusahaan lainnya yang serupa di Negara yang disebut pertama.

4.

Kecuali dalam hal ketentuan Pasal 9 ayat 1, Pasal 11 ayat 7 atau Pasal 12 ayat 6 berlaku, bunga, royalti dan pembayaran-pembayaran lain yang di bayarkan oleh perusahaan dari Negara pihak pada Persetujuan kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dalam menentukan laba yang dapat dikenakan pajak atas perusahaan semacam itu akan dapat dikurangkan dibawah kondisi yang sama apabila hal itu dibayarkan kepada penduduk dari Negara yang disebut pertama.

5.

Dalam Pasal ini, istilah "pajak" berarti pajak-pajak sebagaimana dimaksud dalam Persetujuan ini.

Pasal 25
TATA CARA PERSETUJUAN BERSAMA

1.

Apabila seseorang atau suatu badan menganggap bahwa tindakan-tindakan salah satu atau kedua Negara pihak pada Persetujuan mengakibatkan atau akan mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini, maka terlepas dari cara-cara penyelesaian yang diatur oleh perundang-undangan nasional dari masing-masing Negara, maka ia dapat mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang di Negara Pihak pada Persetujuan dimana ia berkedudukan, atau apabila masalah yang timbul menyangkut Pasal 24 ayat 1 kepada pejabat yang berwenang di Negara pihak pada Persetujuan dimana ia menjadi penduduk. Masalah tersebut harus diajukan dalam waktu tiga tahun sejak pemberitahuan pertama dari tindakan yang mengakibatkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan-ketentuan Persetujuan ini.

2.

Apabila keberatan yang diajukan itu cukup beralasan untuk diselesaikan dan apabila atas masalah itu tidak dapat ditemukan suatu penyelesaian yang memuaskan, pejabat yang berwenang harus berusaha menyelesaikan masalah itu melalui persetujuan bersama dengan pejabat yang berwenang dari Negara pihak lainnya pada Persetujuan, dengan tujuan untuk menghindarkan pengenaan pajak yang tidak sesuai dengan Persetujuan ini.

3.

Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan melalui suatu persetujuan bersama harus berusaha untuk menyelesaikan setiap kesulitan atau keragu-raguan yang timbul dalam penafsiran atau penerapan Persetujuan ini. Mereka dapat juga berkonsultasi bersama untuk mencegah pengenaan pajak berganda dalam hal tidak diatur dalam Persetujuan.

4.

Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada persetujuan dapat berhubungan langsung satu sama lain untuk mencapai persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat-ayat sebelumnya. Pejabat-pejabat yang berwenang, melalui konsultasi, harus membuat prosedur bilateral, syarat-syarat, metode-metode dan teknik-teknik untuk pelaksanaan persetujuan bersama sesuai dengan Pasal ini.

Pasal 26
PERTUKARAN INFORMASI

1.

Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada Persetujuan akan melakukan tukar menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam Persetujuan ini atau untuk melaksanakan undang-undang nasional Negara masing-masing mengenai pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan, sepanjang pengenaan pajak menurut undang-undang Negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan Persetujuan ini. Pertukaran informasi tidak dibatasi oleh ketentuan Pasal 1. Setiap informasi yang diterima oleh suatu Negara pihak pada Persetujuan harus dijaga kerahasiaannya dengan cara yang sama seperti apabila informasi itu diperolah berdasarkan perundang-undangan nasional Negara tersebut dan hanya dapat diungkapkan kepada orang atau badan atau pejabat-pejabat (termasuk pengadilan dan badan-badan administratif) yang berkepentingan dalam penetapan atau penagihan pajak, pelaksanaan undang-undang atau penuntutan, atau dalam memutuskan keberatan berkenaan dengan pajak-pajak yang dicakup dalam Persetujuan ini. Orang atau badan atau para pejabat tersebut hanya boleh memberikan informasi itu untuk maksud tersebut diatas. Mereka dapat juga mengungkapkan informasi itu dalam pengadilan umum atau dalam pembuatan keputusan-keputusan pengadilan.

2.

Bagaimanapun juga Ketentuan-ketentuan ayat (1) sama sekali tidak dapat ditafsirkan sedemikian rupa sehingga membebankan kepada Negara pihak pada Persetujuan kewajiban untuk:

(a)

melaksanakan tindakan-tindakan administratif yang bertentangan dengan perundang-undangan atau praktek administrasi yang berlaku di Negara itu atau di Negara pihak lainnya pada Persetujuan;

(b)

memberikan informasi yang tidak mungkin diperoleh berdasarkan perundang-undangan atau dalam praktek administrasi yang lazim di Negara tersebut atau di Negara pihak lainnya pada Persetujuan;

(c)

memberikan informasi yang mengungkapkan rahasia apapun dibidang perdagangan, usaha, industri, perniagaan atau keahlian, atau tata cara perdagangan atau informasi lainnya yang pengungkapannya bertentangan dengan kebijaksanaan umum (ordre public).

Pasal 27
PEJABAT DIPLOMATIK DAN KONSULER

Persetujuan ini tidak akan mempengaruhi hak-hak istimewa di bidang fiskal dari anggota-anggota misi diplomatik dan konsuler berdasarkan peraturan-peraturan umum hukum internasional atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu persetujuan khusus.

Pasal 28
BERLAKUNYA PERSETUJUAN

1.

Persetujuan ini akan berlaku pada tanggal pemberitahuan terakhir dari tanggal saat masing-masing Pemerintah saling memberitahu secara tertulis melalui saluran diplomatik bahwa formalitas sebagaimana disyaratkan dalam konstitusi masing-masing Negara telah dipenuhi.

2.

Ketentuan-ketentuan dari Persetujuan ini akan berlaku :

(a)

mengenai pajak yang dipotong pada sumber penghasilan untuk penghasilan yang diperoleh pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya sesudah berlakunya Persetujuan ini; dan

(b)

mengenai pajak lainnya atas penghasilan untuk tahun-tahun pajak yang mulai pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun berikutnya sesudah tahun berlakunya Persetujuan ini.

Pasal 29
BERAKHIRNYA PERSETUJUAN

Persetujuan ini akan tetap berlaku tanpa batas waktu, tetapi kedua Negara pihak pada Persetujuan dapat menyampaikan pemberitahuan untuk tidak memberlakukan Persetujuan ini secara tertulis kepada Negara pihak lainnya pada Persetujuan melalui saluran diplomatik pada atau sebelum tanggal 30 Juni setiap tahun takwim dimulai setelah jangka waktu lima tahun sejak tanggal berlakunya Persetujuan.
Dalam hal demikian, Persetujuan ini akan tidak berlaku lagi :

(a)

mengenai pajak yang dipotong pada sumber penghasilan, untuk penghasilan yang diperoleh pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya setelah tahun pemberitahuan berakhirnya Persetujuan diberikan.

(b)

mengenai pajak-pajak lainnya atas penghasilan, untuk tahun-tahun pajak yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari tahun takwim berikutnya setelah tahun pemberitahuan berakhirnya Persetujuan diberikan.

DENGAN KESAKSIAN para penandatangan di bawah ini, yang telah memperoleh kuasa yang sah telah menandatangani Persetujuan ini.

DIBUAT di Khartoum, pada tanggal 10 Pebruari 1998, dalam bahasa Arab, Indonesia dan Inggris, semua naskah tersebut berkekuatan sama. Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran, maka yang berlaku adalah naskah dalam bahasa Inggris.

UNTUK PEMERINTAH
REPUBLIK INDONESIA
ttd
SOEMADI D.M. BROTODININGRAT
UNTUK PEMERINTAH
REPUBLIK SUDAN
ttd
ABDUL GADIR MUHAMMAD AHMED

No comments:

Post a Comment